Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas
BENARKAH
pulau Sumatra telah dikenal oleh Rasulullah SAW semasa hidup, serta
telah dilalui dan disinggahi para pedagang dan pelaut Arab di masa itu?
Pernyataan ini diungkap Prof. Dr. Muhammad Syed Naquib al-Attas di buku
terbarunya “Historical Fact and Fiction” yang di seminarkan November 2011 lalu.Syed Muhammad al Naquib al Attas lahir di Bogor, 5 September 1931 adalah seorang cendekiawan dan filsuf muslim saat ini dari Malaysia. Ia menguasai teologi, filsafat, metafisika, sejarah, dan literatur. Ia juga menulis berbagai buku di bidang pemikiran dan peradaban Islam, khususnya tentang sufisme, kosmologi, filsafat, dan literatur Malaysia.
Sumber Wikipedia menyebutkan, tahun 1962 Al-Attas menyelesaikan studi pasca sarjana di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada, dengan thesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di
bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin
Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah
Fansuri.
Pada 1987, Al-Attas mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di
Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Al-Attas bersama sejumlah kolega
dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai Pemikiran dan
Peradaban Islam, ia terkenal kritis terhadap Peradaban Barat.
Kesimpulan Al-Attas ini berdasarkan inductive methode of reasoning.
Metode ini, ungkap al-Attas, bisa digunakan para pengkaji sejarah
ketika sumber-sumber sejarah yang tersedia dalam jumlah yang sedikit
atau sulit ditemukan, lebih khusus lagi sumber-sumber sejarah Islam dan
penyebaran Islam di Nusantara memang kurang.
Ada dua fakta yang al-Attas gunakan untuk sampai pada kesimpulan di atas.
Pertama,
bukti sejarah Hikayat Raja-Raja Pasai yang di dalamnya terdapat sebuah
hadits yang menyebutkan Rasulullah saw menyuruh para sahabat untuk
berdakwah di suatu tempat bernama Samudra, yang akan terjadi tidak lama
lagi di kemudian hari.
Hikayat Raja-raja Pasai antara lain menyebutkan sebagai berikut:
“…Pada
zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala
lagi hajat hadhrat yang maha mulia itu, maka sabda ia pada sahabat
baginda di Mekkah, demikian sabda baginda:
“Bahwa
sepeninggalku ada sebuah negeri di atas angin Samudera namanya. Apabila
ada didengar khabar negeri itu maka kami suruh engkau (sediakan) sebuah
kapal membawa perkakas dan kamu bawa orang dalam negeri (itu) masuk
Islam serta mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahdan, (lagi) akan
dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanyak daripada
segala Wali Allah jadi dalam negeri itu”
Dasarnya
tentu sangat kuat baik secara teologis maupun secara antropologis.
Menurutnya, Hamzah Fansuri, Nurruddin Ar-Raniry, Syamsuddin
As-Sumatrani, Syech Abdurrauf As-singkili yang terkenal dengan nama
Syeikh di Kuala atau Syiah Kuala adalah sekian diantara ulama besar Aceh
yang pernah ada di zaman keemasan kesultanan Pasai dan Kerajaan Aceh
Darussalam.
Bahkan,
sekian diantara Wali Songo memiliki garis hubungan pendidikan atau
lulusan (alumni) yang berguru di Samudera Pasai sebagai pusat peradaban
Islam Asia tenggara kala itu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang
memiliki hubungan keturunan dengan Aceh penyebar Islam di tanah Jawa.
Sumber wikipedia menyebutkan, bahwa asal-usul penamaan pulau "Sumatra" sendiri berasal dari keberadaaan sebuah kerajaan benama Samudera Pasai (terletak di pantai pesisir timur Aceh).
Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudera menjadi Samatrah, dan kemudian menjadi Sumatra atau Sumatera,
selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan
Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas
sampai sekarang. (Nicholaas Johannes Krom, De Naam Sumatra, BKI, 100, 1941.)
Kedua,
berupa terma “kāfūr” yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Kata ini berasal
dari kata dasar “kafara” yang berarti menutupi. Kata “kāfūr” juga
merupakan nama yang digunakan bangsa Arab untuk menyebut sebuah produk
alam yang dalam Bahasa Inggris disebut camphor, atau dalam Bahasa Melayu
disebut dengan kapur barus.
Masyarakat
Arab menyebutnya dengan nama tersebut karena bahan produk tersebut
tertutup dan tersembunyi di dalam batang pohon kapur barus/pohon karas
(cinnamomum camphora) dan juga karena “menutupi” bau jenazah sebelum
dikubur.
Produk
kapur barus yang terbaik adalah dari Fansur (Barus) sebuah kecamatan di
Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terletak di pantai
barat Sumatra.
Dengan
demikian tidak diragukan wilayah Nusantara lebih khusus lagi Sumatra
telah dikenal oleh Rasulullah dari para pedagang dan pelaut yang kembali
dengan membawa produk-produk dari wilayah tersebut (pasai) dan dari
laporan tentang apa yang telah mereka lihat dan dengar tentang
tempat-tempat yang telah mereka singgahi.
Menurut
berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai
(Pase) kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan
laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula
bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat
perdagangan di kawasan itu.
Prof. Dr. Abdul Rahman Tang, Akademis dan dosen pasca sarjana di Departemen Sejarah dan Peradaban, Kulliyyah of Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences di
International Islamic University Malaysia, selaku pembanding menyatakan
kajian sejarah Islam Nusantara yang dilakukan al-Attas dalam buku
tersebut sebagian besar bersifat spekulatif.
Salah satu fakta spekulatif tersebut adalah hadits yang terdapat dalam Hikayat Raja Raja Pasai.
Menurutnya,
fakta-fakta tersebut bisa valid jika telah menjalani proses
“verification of fact”. Namun Al-Attas tidak melakukan proses ini
terhadap hadits yang disebutkan di dalam hikayat raja-raja pasai
tersebut.
Muslim
China warga Malaysia ini mempertanyakan tentang hadits ini dan
mengkhwatirkan implikasinya terhadap pemikiran masyarakat Nusantara.
Menurutnya, al-Attas melakukan inductive methode of reasoning secara
tidak konstruktif.
Sedang Dr. Syamsuddin Arif, dosen IIUM asal Jakarta,
selaku pembicara kedua dalam acara bedah buku tersebut mengungkapkan
kesimpulan al-Attas di atas logis dan sesuai dengan fakta.
Hal ini berdasarkan perjalanan pelaut dan pedagang Arab pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang pergi ke China. Untuk mencapai negeri China melalui laut tak ada rute lain kecuali melalui dan singgah wilayah Nusantara.
Lebih
lanjut Arif mengemukakan berbagai teori dan pendapat tentang kapan,
dari mana, oleh siapa, dan untuk apa penyebaran Islam di Nusantara
beserta bukti-bukti dan fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung
pendapat-pendapat tersebut. Arif juga menjelaskan ilmuwan siapa saja
yang memegang dan yang menentang pendapat-pendapat tersebut.
Di
akhir makalahnya, Arif mempertanyakan pendapat J.C. Van Leur yang
pertama kali menyatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotivasi
oleh kepentingan ekonomi dan politik para pelakunya.
Van Leur dalam bukunya “Indonesian Trade and Society”
berpendapat, sejalan dengan melemahnya kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di
Sumatera dan khususnya di Jawa, para pedagang Muslim beserta muballigh
lebih berkesempatan mendapatkan keuntungan dagang dan politik.
Dia juga menyimpulan adanya hubungan saling menguntungkan antara para pedagang Muslim dan para penguasa lokal.
Pihak
yang satu memberikan bantuan dan dukungan materiil, dan pihak kedua
memberikan kebebasan dan perlindungan kepada pihak pertama.
Menurutnya,
dengan adanya konflik antara keluarga bangsawan dengan penguasa
Majapahit serta ambisi sebagian dari mereka untuk berkuasa, maka
islamisasi merupakan alat politik yang ampuh untuk merebut pengaruh
hingga menghimpun kekuataan.
Menurut catatan M. Yunus Jamil,
bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari
orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan
mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari
catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di
atas, Prof. A. Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam
Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama
dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin
Daulah (416-435 H).
Nama
Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber
Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti
Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke 13 dan ke-14
Masehi. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat.
Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang
diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa
sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi
sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal
sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai .
Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia pengarang buku ACEH SEPANJANG ABAD yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia",
berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada
pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina,
adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese,
1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab
tentang Asia Tenggara.
Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak
abad ke-7 Masehi, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara
pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan
musafir-musafir Arab.
Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah
terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari
pedagang-pedagang yang beragama Islam. Wallahu'alam bissawab.. (IH/atjehcyber)
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.