Iqra'
Meraih Darjat Ihsan
Meraih Darjat Ihsan
Darjat ihsan merupakan tingkatan tertinggi keislaman seorang hamba.
Tidak semua orang dapat meraih darjat yang mulia ini. Hanya hamba-hamba
Allah yang khusus saja yang mampu mencapai darjat mulia ini.
Oleh kerana itu, merupakan keutamaan tersendiri bagi hamba yang mampu
meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk
didalamnya.
Antara Islam, Iman, dan Ihsan
Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majlis Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam beberapa pertanyaan.
Di
antara pertanyaannya adalah tentang makna islam, iman, dan ihsan.
Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya dan
dibenarkan oleh Jibril.
Berdasarkan hadist ini (HR Muslim (102).
Terdapat pula dalam Hadist matan Arba’in No 2.) para ulama membagi agama
Islam menjadi tiga tingkatan iaitu islam, iman, dan ihsan.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan paling rendah adalah islam.
Kaum muhsinin (orang-orangyang memiliki
sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih.
Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud
berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba.
Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun
tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak
setiap mukmin itu mencapai darjat muhsin. Pelaku ihsan adalah hamba
pilihan dari hamba-hamba Allah yang soleh.
Oleh kerana itu, di dalam al
Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak yang
lainnya.( Lihat Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul
140-141,Syaikh Sholeh al Fauzan)
Makna Ihsan
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa.
Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya
baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, mahupun jiwa raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim102).
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsannya itu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahawa ihsan mencakupi dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk.
Ihsan dalam beribadah kepada Allah
maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa
diawasi oleh-Nya.
Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan
menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu
yang wajib dan sunnah.
Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada
orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah
misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar
kewajiban seseorang.
Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah
berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada kita, baik dengan
ucapan atau perbuatannya. (Lihat Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh
‘Abdurrahman asSa’di.)
Tingkatan Ihsan
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahawa inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal.
Batasan minima seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Inilah kadar ihsan yang wajib
yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya
menjadi sah.
Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam
beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, Tingkatan Muraqobah.
Yakni seseorang yang beramal sentiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah dalam setiap perbuatannya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam “jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”.
Tingkatan muraqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahawa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan solat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperelokkan solatnya tersebut.
Hal ini
sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, Tingkatan Musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang sentiasa memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh pekerjaan/perbuatannya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi “Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya”
Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahawa yang dimaksudkan disini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi.
Yang mereka sangka dengan tingkatan
musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan.
Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan
memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang
hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat
Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama
dan sifat-sifat-Nya.
Dan inilah tingkatan tertinggi dalam darjat ihsan.
(Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, Syaikh
SholehAlu Syaikh.)
Sumber : Pena Ulama'
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.